Teori CNSM dalam Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga di Tengah Pandemi

 

Banyak yang berpendapat bahwa pandemi yang terjadi beberapa waktu belakangan ini merupakan fase yang sangat kelam dan sangatlah berat. Kita, sebagai manusia, dan sebagai makhluk sosial, terpaksa terbatas untuk bersosialisasi. Keterbatasan yang terjadi pada saat pandemi ini dilakukan bukan tanpa sebab, melainkan karena merebaknya virus mematikan yang kita kenal sebagai virus Corona. Semua kegiatan yang mengharuskan kita untuk bertatap muka tersebut terpaksa harus dilakukan secara daring. Pendidikan, pekerjaan, perayaan hari-hari besar, dan acara-acara yang seharusnya dilaksanakan secara offline tersebut terpaksa tidak berlangsung sebagaimana mestinya, tanpa berpergian, tanpa bertatap muka, dan tanpa kontak fisik. Keseharian di masa pandemi ini mengakibatkan kita semua tidak dapat sepenuhnya bersosialisasi dan kehilangan martabatnya sebagai makhluk sosial. Tak terkecuali saya dan keluarga saya.

Keluarga yang terdiri dari papa, mama, saya, dan adik ini terpaksa melalui hari-hari selama pandemi tanpa bersosialisasi dengan orang di luar rumah. Bak tahanan di penjara, kami sekeluarga pun terlihat serupa. Keseharian kami sebagian besar dilakukan tanpa keluar rumah, mulai dari sekolah, mengaji, rapat, bimbel, ujian, dan tak terkecuali pula pertemuan rutin keluarga besar. Pertemuan yang biasanya rutin kami lakukan di saat-saat perayaan hari besar keagamaan seperti lebaran ini tidak lagi dapat terlaksana seperti biasanya. Di saat pandemi, kami sekeluarga besar hanya bisa berkomunikasi dan bertukar kabar melalui video call ataupun teks. Komunikasi tanpa adanya interaksi langsung ini jelas tidak mengatasi rasa rindu kita kepada anggota keluarga yang lain. Hari raya pun seperti kehilangan maknanya. Hanya seperti hari-hari biasa pada umumnya, menatap layar, berdiam diri di rumah, dan tanpa kontak fisik. Tidak ada yang berbeda. Semua ini terjadi karena adanya kebijakan pemerintah yang menerapkan PPKM di seluruh daerah di Indonesia yang memiliki jumlah kasus aktif Covid-19 yang tinggi. Depok dan Yogyakarta salah satunya. Dua kota yang memisahkan mama dan keluarganya ini terpaut jarak yang jauh dengan waktu tempuh yang tidak sebentar untuk dapat sekedar menyambangi sanak saudara atau bahkan orang tuanya. Kedua kota ini menjadi kota yang dijaga ketat mobilitasnya oleh pemerintah karena kasus covidnya yang tinggi. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengkontrol angka kasus aktif di Indonesia. Keluar masuknya akses jalan di kota-kota tersebut di beri pembatas jalan dan dijaga oleh polisi setempat agar dapat diperiksa terlebih dahulu beberapa dokumen perjalanan yang harus disiapkan untuk berpergian. Salah satunya adalah dokumen hasil test swab/PCR, dan surat dari kelurahan. Persyaratan tersebut adalah syarat mutlak bagi semua orang yang ingin berpergian keluar kota. Tidak terkecuali pula saya dan keluarga saya yang pada akhirnya harus pergi ke Yogyakarta karena keadaan yang mendesak.

Sabtu, 10 April 2021 menjadi hari pertama di mana akhirnya saya dan keluarga saya keluar dari rumah untuk berpergian jauh ke luar kota di tengah-tengah tingginya kasus Covid-19. Kami sekeluarga memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta karena mendapat kabar bahwa nenek dari mama terjatuh dari kamar mandi dan kakinya terluka. Nenek saya yang sudah berusia lanjut mengisi hari tuanya dengan tinggal bersama anak laki-laki terkecilnya di sebuah desa di Kulonprogo. Memiliki lima anak yang dua diantaranya bertempat tinggal di depok membuat nenek saya hidup jauh dari ke empat anak-anaknya. Anak laki-laki pertamanya tinggal merantau jauh di Depok bersama dengan anak ketiga perempuan yaitu mama saya. Sedangkan anak ke dua laki-laki, anak ke empat laki-laki, dan anak terakhir perempuan tinggal di sekitaran D.I. Yogyakarta. Meskipun masih berada di satu provinsi yang sama, ke tiga anaknya yang tinggal di Yogyakarta tidak bisa sepenuhnya menetap dan menemani setiap hari di rumah nenek saya karena semuanya memiliki pekerjaan masing-masing.  Kejadian terjatuhnya nenek saya di kamar mandi tersebut membuat kelima anaknya khawatir sehingga mereka semua memberikan perhatian penuh kepada nenek saya pada saat itu. Pada saat pertama kali mama saya menerima kabar bahwa nenek saya terjatuh, maka mama saya langsung bergegas mengajak kami sekeluarga untuk berangkat ke Yogyakarta pada saat itu juga.

“Pa, kayanya kita harus ke Jogja sekarang, Mami jatoh di kamar mandi” ucap mama setelah menutup telefon dari tante.

Setelah ucapan tersebut, mama dan papa mendiskusikan rencana keberangkatan kami ke Jogja. Tidak lama kemudian, mama menghampiri saya dan bertanya sekaligus memberitahukan kondisi apa yang sedang terjadi kepada saya.

“Ka, kamu kuliah hari apa aja? Kuliahnya online kan? Kuliah online di Jogja aja ya, kita harus ke Jogja sekarang soalnya mbah jatoh di kamar mandi”

Mendengar penjelasan yang sebenarnya sudah saya dengar samar-samar dari perbincangan di telefon itupun membuat saya akhirnya bergegas mengambil tindakan untuk segera membantu mama packing semua kebutuhan sekaligus membahas tentang jadwal kuliah daring saya berlangsung kepada mama.

Setelah mendengar penjelasan dari saya, maka bulat sudah keputusan mama untuk membawa semua anggota keluarga untuk berangkat ke Jogja hari itu juga. Selagi saya dan mama mempersiapkan segala hal untuk dibawa selama perjalanan, papa menyiapkan dokumen-dokumen yang menjadi syarat berpergian selama PPKM yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dengan meminta bantuan Pak RT untuk kemudian diteruskan ke Kecamatan.

                Selama perjalanan menuju Yogyakarta, mama tidak henti-hentinya memegang erat telepon genggamnya untuk terus dapat berkoordinasi dengan saudara-saudaranya tentang keadaan nenek. Mengingat ketiga saudaranya yang berdomisili di Yogyakarta ini mempunyai pekerjaan yang tidak mudah untuk ditinggalkan. Maka dari itu, mama sebagai anak yang berstatus hanya sebagai ibu rumah tangga ini langsung berinisiatif untuk pergi ke Yogyakarta dan mengambil peran sebagai pendamping nenek saya di masa penyembuhannya. Dengan dibantu oleh mbak yang bekerja di rumah nenek untuk menjaga sekaligus memberikan info terupdate tentang nenek saya ini cukup mengurangi rasa khawatir yang ada di dalam benak mama selama di perjalanan. Sesampainya di rumah nenek, saya dan sekeluarga sudah disambut oleh anggota keluarga lain yang sudah berkumpul di pendopo rumah nenek untuk kemudian membahas tentang bagaimana metode perawatan yang akan diberikan kepada nenek dan pembagian jadwal menemani nenek saya.

                Hari-hari berlalu, sakit yang diderita oleh nenek tidak kunjung membaik. Luka di kakinya akibat dari jatuh waktu itu tidak kunjung membaik karena nenek mempunyai riwayat penyakit diabetes, sehingga lukanya tidak kunjung mengering melainkan sebaliknya. Luka di kakinya yang tidak kunjung mengering ini haruslah mendapatkan perhatian khusus dan perawatan setiap harinya yaitu dengan mengganti perban. Penggantian perban di luka kaki nenek yang sudah menyebar sampai hampir di setengah kaki kirinya ini mengakibatkan proses penggantian perban ini harus melibatkan banyak orang. Hampir semua anak dari nenek ikut turun untuk membantu, menenangkan, membersihkan, dan mengganti perban bersama dengan perawat yang rutin datang ke rumah untuk mengkontrol luka nenek sesuai protokol rumah sakit. Waktu penggantian perban inilah yang menjadi waktu bagi anak-anak dari nenek untuk berkumpul untuk saling bekerja sama agar proses penggantian perban ini dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan protokol. Diluar jadwal penggantian perban, saudara-saudara mama secara bergantian menjaga nenek dan mengawasinya apabila ada sesuatu yang terjadi. Masing-masing anak memiliki perannya sendiri-sendiri. Semuanya berkolaborasi dengan mengorbankan waktu dan tenaga sepenuhnya untuk kesembuhan nenek. Ada yang bertugas menuruti segala keinginan nenek, ada yang bertugas menjaga nenek di saat malam hari, ada yang bertugas membacakan ayat suci Al-Qur’an di dekat kuping nenek, ada yang bertugas untuk mengajaknya bercanda, dan lain-lain. Jadwal pengawasan di masa penyembuhan nenek ini disesuaikan dengan aktivitas masing-masing anak yang meng­-handle pekerjaan yang berbeda-beda. Semua itu dilakukan semata-mata hanya agar tidak ada waktu dimana nenek sendirian dan untuk menghindari agar nenek tidak merasa sedih dan kesepian.


 

Analisis

·         Asumsi CNSM 2: Hubungan kesehatan dan kesejahteraan

Asumsi ini termuat dalam konten bercerita karena di dalamnya terdapat proses penentuan jadwal pembagian menjaga nenek yang disesuaikan dengan jadwal kerja masing-masing agar tercapainya kesejahteraan sesama.

 

·         Berdasarkan cerita narasi di atas maka teori CNSM yang sesuai dengan cerita tersebut yaitu cerita interaksional dan translasional. Bercerita interaksional memperhatikan pola kolaboratif, dan juga mengenai kaitan antara kesejahteraan individu dan relasional. Dalam cerita tersebut terlihat pola kolaboratif yang dilakukan oleh mama dengan mengajak seluruh saudaranya untuk saling bergantian menjaga nenek di tengah kesibukan bekerja masing-masing. Pengorbanan yang dilakukan masing-masing orang di dalam anggota keluarga ini pada akhirnya membentuk sebuah pola kolaboratif yang menciptakan kesejahteraan bagi individu di dalamnya. Menurut Kellas dan Trees (2005) terdapat beberapa sistem penilaian di dalam bercerita interaksional, seperti adanya tingkat keterlibatan yang lebih tinggi. Kategori ini tercakup dalam cerita di atas pada saat anak-anak dari nenek saya saling terlibat untuk membantu pemasangan atau penggantian perban yang rutin dilakukan. Selanjutnya, Bercerita translasional merupakan sebuah teori yanng memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan di antara peserta di berbagai konteks. Hal ini terjadi di dalam cerita pada saat mama saya memberikan pengertian kepada anggota keluarganya termasuk saya bahwasanya nenek saya sedang membutuhkan perhatian penuh karena tragedi yang terjadi. Dengan penyampaian tersebut, mama saya mencoba untuk memperhatikan dan mencarikan solusi agar saya tetap dapat mengikuti perkuliahan seperti biasa dengan menanyakan terlebih dahulu jadwal kuliah saya.

 

Komentar